Terima Kasih Telah Menjadi Bagian Temu Inklusi #5

Terima Kasih Telah Menjadi Bagian Temu Inklusi #5

Pemberian Konsesi yang Tak Semudah Amnesti dan Abolisi

oleh Achmad Maulana Setiansyah


Beberapa hari ke belakang, media arus utama nasional ramai mengabarkan berita terkait amnesti dan abolisi. Tak butuh waktu lama pula, platform medsos macam TikTok, Instagram, dan Facebook mengamplifikasinya kepada para penggunanya. Amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif—kewenangan istimewa—presiden yang diatur di dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Dua hal ini dapat diberikan oleh presiden kepada siapa saja tak terkecuali politisi. Saya pribadi tidak terlalu kaget akan hal ini. Tampaknya, presiden ingin merangkul semua pihak, baik itu pihak yang berdiri di sampingnya ataupun di seberangnya.


Entah kenapa ketika saya mendengar kata “amnesti” dan “abolisi” ini, saya teringat kata lain yang punya akhiran “–i” yang sama, yakni “konsesi”. Sebagai aktivis difabel, kata “konsesi” tentu tidak asing di telinga kami semua. Konsesi ini adalah satu dari sekian hak difabel yang tertera secara eksplisit dan dijamin dalam UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Konsesi secara sederhana bisa diartikan sebagai pemberian izin, hak, atau keringanan khusus kepada seseorang atau sekelompok individu. UU ini kemudian memberikan definisi konsesi sebagai segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau seseorang berdasarkan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah. 


Lima tahun sebelum UU 8/2016 lahir, republik ini telah lebih dulu meratifikasi UNCRP (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities) melalui UU 19/2011. UNCRPD sendiri adalah perjanjian internasional yang mengatur dan melindungi hak-hak difabel agar mereka bisa hidup setara, bebas diskriminasi, dan berpartisipasi penuh di masyarakat. Ratifikasi menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam CRPD ke dalam peraturan dan beleid pemerintah lainnya. Komitmen inilah yang diperjuangkan oleh gerakan difabel hingga muncul undang-undang tentang difabel, yaitu UU 8/2016.  


Keberhasilan gerakan difabel tidak hanya berhenti di situ. Kami, secara berkala, mendorong adanya peraturan-peraturan teknis berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan kementerian ataupun peraturan-peraturan lainnya terkait difabel. UU 39/1999 pun menegaskan bahwa difabel adalah salah satu kelompok rentan yang memang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih oleh negara—Pasal 5 ayat (3) UU 39/1999. Salah satu yang tengah kami perjuangkan adalah hak konsesi.      


Konsesi, yang juga berakhiran “–i” macam amnesti dan abolisi tadi, adalah salah satu dari 22 hak difabel. Dalam konteks difabel, hak ini memiliki arti kemudahan, penyesuaian, atau perlakuan khusus guna mengatasi hambatan dan sekaligus memastikan difabel bisa memiliki partisipasi yang setara dalam segenap aspek. UU 8/2016 kemudian secara tersurat mengamanatkan adanya potongan biaya kepada difabel dari pemerintah. Pemberian hak konsesi ini merupakan instrumen penting dalam penyesuaian biaya bagi difabel agar bisa berpartisipasi secara setara dengan masyarakat non-difabel.    


Bagi kami, konsesi sangat berbeda artinya dengan belas kasihan—charity, kami sering menyebutnya. Hak konsesi merupakan pemberian hak kemudahan akses untuk mengurangi hambatan-hambatan yang dialami oleh difabel. Ambil contoh begini. Seorang difabel pengguna kursi roda tentu saja membutuhkan penyesuaian ketika ia ingin menggunakan moda transportasi umum, umpamanya kereta api. Seorang non-difabel cukup dengan menggunakan ojek daring sepeda motor untuk menuju stasiun, sedangkan difabel pengguna kursi roda ini membutuhkan akomodasi mobil untuk menuju ke stasiun yang sama. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkan oleh difabel akan lebih banyak daripada non-difabel untuk berkegiatan menuju ke tempat yang persis sama. 


Ilustrasi foto oleh Paul Green di Unsplash


Belum lagi ada tambahan biaya-biaya lainnya bila difabel mengajak pendamping guna memudahkan mereka menggunakan fasilitas umum yang belum aksesibel semisal pedestrian yang tidak rata, akses lift yang belum tersedia, toilet yang tidak bisa diakses pengguna alat bantu, dan masih banyak yang lainnya. Akumulasi biaya akan menjadi lebih besar bila ditambah dengan komponen-komponen lain, misalnya biaya perawatan kesehatan rutin atau reparasi alat-alat bantu yang digunakan sehari-hari. Inilah sebagian realitas yang dialami 23,3 juta difabel atau 9% dari total penduduk Indonesia—angka yang dirilis Susenas Maret 2019. 


Untuk urusan konsesi ini pemerintah belum secara serius hadir kepada difabel. Hal ini bisa dilihat dari lambannya pemerintah mengundangkan aturan turunan terkait hak konsesi. Bila kita menyigi UU 8/2016 khususnya Pasal 152, pemerintah punya kewajiban untuk segera membikin peraturan pelaksanaannya paling lambat dua tahun sejak UU 8/2016 disahkan. Ini berarti ada tujuh tahun—dan terus berjalan hingga detik ini—kekosongan hukum akibat pemerintah belum mengundangkan aturan terkait hak konsesi kepada difabel.


Keseriusan pemerintah telah kami tunggu-tunggu—paling tidak selama tujuh tahunan—untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak difabel, khususnya hak konsesi hingga hari ini, sehingga muncul penyesuaian harga-harga oleh pemerintah untuk mengatur hal-hal mulai layanan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, transportasi umum, kebutuhan rumah tangga seperti air, listrik, gas hingga akses KPR, misalkan. Secara teknokratik, perlu adanya penyesuaian dana atau fiskal secara top-down dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam penyediaan pembiayaan terkait hak konsesi. Bila pemerintah mampu menggenjot proyek ambisius macam Ibu Kota Nusantara alias IKN—yang saya nggak tahu bagaimana kelanjutannya—atau rencana proyek Giant Sea Wall yang menelan biaya yang tidak sedikit itu, bukankah pemerintah juga bisa mengalokasikan dana yang secara akumulatif lebih sedikit untuk menjadikan Indonesia lebih inklusi dengan pemberian hak konsesi?  


 


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.