Peran Difabel Desa Mendorong Perpustakaan Inklusif
Sejak tahun 2022, Desa Trebungan sudah memiliki perpustakaan desa. Perpustakaan desa tersebut bernama Perpus Lontar. Perpustakaan desa ini dikelola oleh Pemerintah Desa Trebungan dan, pada waktu itu, ditempatkan di salah satu ruangan di kantor desa yang tergabung dengan ruangan lainnya. Selain itu, ruangan perpustakaan desa ini terletak agak menjorok ke dalam, sehingga terkesan kurang mudah diakses oleh warga desa untuk dikunjungi. Terlebih, waktu itu masih ada anggapan bahwa perpustakaan desa bukanlah untuk umum.
Program SOLIDER yang dilaksanakan oleh SIGAB Indonesia bekerja sama dengan Yayasan PPDiS membuka banyak perubahan di Desa Trebungan. Melalui Program SOLIDER, warga difabel di desa ini berkumpul ke dalam suatu wadah yang bernama Kelompok Difabel Desa (KDD) Trebungan. KDD Trebungan juga dilatih berbagai hal mulai dari perspektif GEDSI, pembangunan inklusif, keorganisasian, komunikasi asertif, pelatihan paralegal desa, hingga pelatihan kelompok usaha. Tak berhenti hanya pada KDD Trebungan, Program SOLIDER juga memberikan pelatihan perspektif GEDSI dalam pembangunan desa, pendampingan pembangunan aksesibilitas di desa, dan pendampingan penyusunan peraturan desa inklusi difabel kepada Pemerintah Desa Trebungan.
Dari situ, maka mulailah KDD Trebungan banyak dilibatkan di dalam kegiatan-kegiatan di Desa Trebungan. Perwakilan KDD Trebungan juga selalu diundang di dalam forum-forum perencanaan pembangunan desa. Kemudian, sejak medio 2024, Pemerintah Desa Trebungan juga melibatkan KDD Trebungan di dalam pengelolaan perpustakaan desa.
Keterlibatan anggota-anggota KDD Trebungan ini membawa perubahan bermakna pada perpustakaan desa. Bersama dengan Pemerintah Desa Trebungan, anggota-anggota KDD tersebut memindahkan perpustakaan ke kantor sekretariat KDD Trebungan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan warga desa mengunjungi perpustakaan. Sekarang, ruangan perpustakaan yang bergabung dengan sekretariat KDD Trebungan lebih mudah dijangkau karena lebih dekat dengan akses pintu masuk sekaligus memudahkan pula difabel berkunjung karena ruangan ini bersebelahan dengan aksesibilitas bidang landai dan toilet yang aksesibel.
Dalam struktur perpustakaan desa, ada 10 personalia pengurus yang tiga di antaranya adalah difabel. Pengurus perpustakaan berasal dari berbagai unsur-unsur desa, semisal perwakilan perangkat desa, PKK, Forum Anak Desa, dan, tentu saja, Kelompok Difabel Desa. Tercatat, ada tiga anggota KDD Trebungan yang menjadi pengurus perpustakaan desa. Mereka adalah Supriyadi sebagai petugas layanan pengguna, Basuki Rahmat sebagai petugas referensi, dan Asnawi sebagai petugas layanan pembawa. Keterlibatan KDD Trebungan di dalam pengelolaan perpustakaan desa juga punya tujuan lain. Pemerintah Desa Trebungan ingin mendorong warga difabel untuk mengunjungi perpustakaan desa dan merangsang minat baca warga Desa Trebungan termasuk warga desa difabel. Hal ini, pada gilirannya, akan meningkatkan literasi warga Desa Trebungan.
“Memang, belum banyak difabel yang berkunjung ke perpus ini. Tapi, sudah ada teman-teman KDD yang kadang-kadang berkunjung,” ucap Supriyadi. Menurutnya, mayoritas yang berkunjung ke perpustakaan adalah difabel fisik dan difabel tuli. Hal ini dinilai baik olehnya karena dulu, jangankan difabel, warga desa saja masih sering merasa sungkan untuk masuk ke ruangan perpustakaan yang lama. “Itulah kenapa kami usung rak-rak buku ke sini supaya lebih dekat dikunjungi,” tambah Ketua KDD Trebungan itu. Dia pula mengungkapkan bahwa dirinya bersama pengurus perpustakaan yang lain menata ulang buku-buku, memasukkannya ke dalam katalog, dan merapikannya juga. Ruang Perpus Lontar yang tergabung dengan ruang Sekretariat KDD Trebungan sekaligus membawa kesan positif, yakni makin menguatkan peran difabel di Desa Trebungan. Bahkan, KDD Trebungan sudah dianggap bagian dari Pemerintah Desa Trebungan.
Meskipun perpustakaan telah mulai dimanfaatkan oleh difabel di Desa Trebungan, bukan berarti tidak ada tantangan di dalamnya. Tidak ada satu pun buku koleksi perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh difabel netra. Perpus Lontar belum memiliki koleksi buku-buku braille atau buku-buku yang dilengkapi audio (Audiobook). “Nah, buku Braille dan Audiobook sedang diajukan kepada Pemdes,” jelas Supriyadi. Ia bersama rekan-rekan pengurus perpus tengah mengajukan pengadaan buku-buku yang bisa diakses difabel netra, sehingga tidak ada satu pun yang ditinggalkan di dalam menggunakan perpustakaan desa. “Tak hanya buku untuk teman netra, perpus ini juga perlu menambah jenis buku selain cerpen dan buku anak-anak,” tambahnya. Supriyadi juga bercerita bahwa perpustakaan yang ia bantu kelola ini perlu menambah meja kecil untuk mempermudah anak-anak menulis dan mencatat isi buku. Ditambah lagi, menurutnya, banyak anak-anak usia sekolah dasar yang menjadi pengunjung Perpus Lontar.
Perubahan yang terjadi di Perpus Lontar ini menunjukkan bahwa peranan difabel desa dapat membawa dampak-dampak positif. Semangat kolaboratif antara difabel, pemerintah desa, PKK, forum anak desa, dan warga desa lainnya dapat membuat perpustakaan desa lebih terbuka, ramah, dan memberi manfaat banyak. Harapannya, perpustakaan ini terus tumbuh menjadi sumber pengetahuan dan informasi bagi warga Desa Trebungan. Ini senada dengan harapan Supriyadi, “Bila ditanya harapan saya (bagi perpus ini, Red.), saya berharap perpus bisa jadi sumber pengetahuan bagi warga desa, khususnya teman-teman difabel,” dan dia juga menambahkan, “Doakan kami sukses karena Perpus Lontar ini juga sedang diikutkan Lomba Perpustakaan Desa/Kelurahan Terbaik 2025 di Situbondo.”
Tidak ada komentar: